BERKAIT DENGAN TEMA FOKUS VISUAL ARTS KALI INI, VISUAL ARTS MEMILIH SECARA ACAK DUA SENIMAN UNTUK BICARA TENTANG VISI KEBANGSAAN DAN KAITANNYA DENGAN KERJA YANG IA LAKUKAN SEBAGAI SENIMAN. DUA ORANG YANG TERPILIH ADALAH A.D. PIROUS DAN RITA WIDAGDO.
Seorang bapak dengan wajah mirip orang India menyambut ramah di depan studionya, Jl. Bukit Pakar Timur II no. 111, Bandung, A.D. Pirous, pemilik wajah eksotik itu kini sudah berumur 76 tahun. Dalam panjang usianya, ada pengalaman panjang yang memungkinkannya untuk mencoba, meralat dan menegaskan makna nasionalisme bagi dirinya.
“Nasionalisme dalam arti saya itu tidak selalu tergantung kepada karya-karya seni rupa yang memakai manusia-manusia dalam tata kehidupan, problematik kehidupan mereka, suka duka, susah senangnya, sehingga dengan demikian karya-karya itu dikatakan nasionalis. Tidak selalu begitu. Itu mungkin benar, sebab masalah-masalah yang menyangkut bangsa itu juga menyangkut tata kehidupan kita dan hidup kita, dan lingkungan kita...”
Lalu apa?
“…(N)asionalisme itu adalah sesuatu yang dinamik, yang bergerak, yang sangat bergantung kepada bagaimana kita mengisinya, bagaimana kita membangkitkan kesadaran kita kepada nilai-nilai itu. Ia bukan barang mati, bukan barang yang sama dengan sepuluh tahun lalu. Sebab ada orang bertanya, apa bicara tentang nasionalisme itu masih relevan? Gila, nggak? Nasionalisme selalu hadir, saat ita sebagai satu bangsa. Buktinya ketika satu pulau kita diambill oleh Malaysia, kita semuanya marah.
“…Jadi nasionalisme itu lebih kurang seperti rasa kebangsaan, rasa keyakinan kita. Ia harus dipelihara, dan itu tidak bisa dibiarkan. Bagaimana memelihara itu? Kita peduli, kita acuh… apa sih yang terjadi di negeri ini? Saya membaca koran, ada orang RMS itu mencak-mencak bawa bendera itu, aduh… aduh… lahirlah lukisan itu (Indonesia Raya, 2007), “ tegas Pirous saat menyambungkan kegiatan berkeseniannya dengan nasionalisme yang ia daku.
Hal yang mirip, dengan tekstur yang berbeda, diungkapkan oleh Rita Widagdo. Sang pematung kampiun Indonesia, berdarah Jerman, saat ditemui di kediamannya, di Bandung, mengungkapkan alasan mengapa ia begitu mencintai tempat ini.
“Di Bandung ini kita sangat kerasan karena begitu banyak seniman, dekat sama Pak Apin, Pak Srihadi, Pak Pirous, suasana sangat-sangat baik. Banyak teman, toko buku, sangat menenangkan. Saat mematung waktu di Jakarta, ketika saya memahat, panas sekali, sebentar-sebentar sudah berkeringat, kalau di Bandung bisa kerja dari pagi sampai malam.”
Sederhana memang, dan tentang nasionalisme?
Dengan lebih menekankan pada filosofi berkaryanya, ia menjawab, “Kalau saya sendiri dalam hal berkarya, saya merasa seni adalah satu-satunya oasis di mana manusia bisa betul-betul bebas, bebas dari politik, bebas dari kesukuan, bebas dari agama. Tidak berarti bahwa tidak boleh melukis tema agama, (hal itu) silakan saja. Tapi, jangan menjadi petugas, atau budak. Seni harus bebas. Ia satu-satunya tempat, suatu oasis, tempat kita bisa istirahat. Jangan mau dibatasi oleh hal yang ada di luar seni.
“…(T)ugas kita memang sebagai seniman, mencari kualitas seni yang setinggi mungkin sesuai dengan kemampuan kita. Kalau kita selalu bekerja dengan tanggung jawab besar, mencari yang benar, tentu saja kita akan membantu membuat nama bangsa harum. Negara lain (jadi) tahu, wah seni rupa di Indonesia cukup berbobot.”
Ia juga menekankan pada kesadaran untuk membuat karya yang punya kualitas internasional. “Tapi, jangan mengerti nasionalisme dalam hubungannya dengan seni, bahwa ikut campur omong mengenai politik. Seorang seniman disebut tokoh nasional bila sudah mencapai mutu atau kualitas internasional,” tandasnya. [V]
PAMERAN ARSIP ARTIKEL #1
Jl. Bukit Pakar Timur II/111
Bandung, 40198
Indonesia.
Hours
Tuesday – Sunday:
10:00AM – 5:00PM
+62 22 2530966
(office hour only)