Pameran Arsip Artikel #1

PAMERAN ARSIP ARTIKEL #1: BECOMING PIROUS

A.D. Pirous: Setelah Ja’u Timu

Dipublikasikan di: Majalah Visual Arts Mei-Juni 2012

Ia menemukan dirinya dan Timur justru setelah berjalan ke Barat. Kini karya-karyanya yang merupakan catatan spiritual memancarkan dakwah kebaikan, di tengah kehidupan yang carut-marut.

Tidak banyak seniman Indonesia yang berusia 80 tahun, dalam kondisi sehat, tetap kreatif, dan tidak pikun. Salah satu diantaranya adalah Abdul Djalil (AD) Pirous. Suami pelukis Erna Pirous dan ayah tiga anak ini, kita kenal sebagai perupa dan mantan dosen/dekan Fakultas Senirupa dan Desain – Institut Teknologi Bandung (FSRD-ITB), kelahiran Meulaboh, Aceh, 11 Maret 1932. Mulai tahun 1955 sampai sekarang ia telah menjadi warga kota kembang Bandung, Jawa Barat, dan berusaha turut memajukannya lewat karya dan pemikiran seni budaya, dengan falsafah Melayu “bumi dipijak, langit dijunjung". Ia aktif pameran bersama bersama maupun tunggal, di dalam dan luar negeri, sejak 1960 sampai sekarang.

Ulang tahunnya ke-80, Maret lalu, begitu istimewa. Disyukuri dengan banyak hal, dan dukungan banyak pihak, antara lain pameran retrospektif bertajuk Ja’u Timu (bahasa Aceh yang berarti mengarah ke timur) di Selasar Sunaryo dengan kurator Aminuddin TH. Siregar. Pameran grafis di Galeri Soemardja – ITB, seminar nasional oleh tokoh-tokoh lintas bidang, artis talk, dan sarasehan. Selain itu peluncuran buku terbitan Mizan bersama Serambi Pirous berjudul “Melukis Islam: Amal dan Etika Seni di Indonesia” susunan Kenneth M. George, antropolog Indonesianis dari Winsconsin University. Buku ini sebelumya edisi Inggris berjudul “Picturing Islam: Art Ethics in a Muslim Lifeworld”, terbitan Wiley-Blackwell United Kingdom, 2010. Didalamnya menyajikan dunia Islam dengan mengeksplorasi isu-isu agama, nasionalisme, etnisitas, dan globalisasi melalui kehidupan dan karya Pirous.

Dedikasi Pirous di dunia perguruan tinggi seni, telah dibuktikan sejak muda hingga dirinya purna tugas di almamaternya. Semasa masih aktif di FSRD-ITB, ia salah satu pendidik dan pemikir senirupa yang dalam pengabdiannya di almamaternya ITB, pernah mengajar materi kuliah senilukis, tipografi, dan kaligrafi. Kemudian ia menjadi salah seorang pendiri, ketua, dan dosen senior program studi Desain Komunikasi Visual. Ia pun pernah menjabat sebagai Dekan Fakultas Senirupa dan Desain ITB (1984-1991).

Trisno Soemardjo menyebut ITB adalah “laboratorium Barat”. Tapi pada masa pencarian jati diri Pirous, tahun 1970-an, ketika ia Pirous melawat ke Amerika Serikat, lalu keluar masuk museum dan galeri, ia tidak mendapatkan karya-karya Indonesia di sana. Dan memang seperti dikatakan filsuf dan pengamat senirupa Arthur Danto, bahwa modernism disusun di Paris dan New York. Hasilnya bisa membingungkan dunia (dalam hal ini Pirous di dalamnya). Modernisme menolak semua tradisi estetik kecuali dari wilayah Eropa dan Amerika Serikat. Modernisme merupakan kisah mengenai budaya Barat, tentu saja tidak menempatkan seniman maupun karya seni di luar itu. Dalam suasana perasaan terpukul, Pirous di New York saat itu (sekian puluh tahun lalu) kemudian bertanya pada diri sendiri. “Baiklah Pirous, lalu siapakah anda ini sesungguhnya?” Ia menjawab pada dirinya sendiri bahwa dirinya adalah seniman Indonesia, karena lingkungan Indonesia menjadi bahan-bahan persoalan untuk saya. Dan ketika ia melihat pameran besar India di New York, yang menonjolkan agama dan etnisitas, membuat Pirous sangat terkesan, dan membimbing dirinya “kedalam”.

Momen-momen itulah yang kemudian mendorong Pirous saat pulang ke tanah air mencari jawaban, dengan mempelajari berbagai kekuatan kultural di kampungnya di Aceh, hingga kelak–melalui wadah Decenta misalnya–melanjutkan pencarian identitas Indonesia melalui kekayaan tradisional masing-masing suku bangsa Indonesia. Juga menyelam ke dasar keislaman, dalam konteks peradaban global.

Terkait hal itu bisikan ayahnya di kampung ketika dirinya masih remaja (14 tahun), “Ja’u timu, ja’u timu…” berjalanlah ke arah Timur, bisa dimaknai secara luas: pragmatis, simbolis, hingga filosofis sebagai sebuah dorongan pencarian. Adapun terminal akhirnya adalah pergulatan diri sendiri, antara kecerdasan perasaan sebagai seorang seniman, dan kearifan iman seorang pemeluk teguh Islam. Jejak pergulatan itu, terpantul dengan jelas pada karya-karya yang dipamerkan baik di Selasar Sunaryo maupun di galeri Soemardja. Karya-karya itu, koleksi pribadinya, dan bukan sisa dari karya-karya yang telah laku di pasar, melainkan dengan penuh kesadaran sejak muda hingga sekarang menyimpannya untuk sejarah perjalanan dirinya.

Dari jejak-jejak karyanya tersebut–ditambah dengan sejumlah koleksi arsip, fotografi, hasil rekaman audio visual, maupun catatan renungan dan perkuliahan, guntingan koran–benar bahwa Pirous sebagai salah satu pelopor grafis dan kaligrafi kontemporer. Pada awalnya, kaligrafi Arab Pirous tidak terbaca dan mengundang masalah. Kemudian menampilkan kaligrafi “betulan” namun tetap saja menyimpang dari kaidah kaligrafi Arab, hingga kaligrafi latin berbahasa Indonesia dan daerah (Aceh). Dari sana ia menyebarkan “ayat-ayat” kebajikan, baik yang bersumber pada Alquran, hadis maupun berbagai kearifan budaya bangsa hingga kearifan lokal. Berbeda dengan pemahaman para kaligrafer dan pendapat umum yang selama ini sudah terbentuk, Pirous menolak kalau praktik kesenian dan karyanya dikatakan sebagai dakwah agama. “Ini bukan dakwah. Saya tidak menyerukan agama. Karya-karya saya, adalah cataan spiritual saya.” Lukisan-lukisan merupakan ruang dialog dengan sang Khalik.

Terlepas dari itu, fakta bahwa dalam karya-karya Pirous tak henti-hentinya mengisi kanvas-kanvasnya dengan potongan ayat suci maupun peribahasa nenek-moyang, yang diolah sebagai bahasa artistik, yang memuat pesan-pesan religiusitas hingga pesan sosial dan kemanusiaan. Apalagi dengan pelebaran sayap kaligrafi mazhab Pirousi (meminjam istilah pakar D. Sirajuddin) dengan tulisan latin berbahasa Indonesia dan Aceh, nampak benar semangatnya menjangkau awam. Visual Arts edisi April-Mei sengaja memuat salah satu kaligrafi latin Pirous, sebagai contoh kecenderungan barunya, disamping sebagai kado ulang tahun.

Sepanjang yang bisa dilihat dari kaligrafi latin Pirous baik yang berbahasa Indonesia maupun Aceh, sebenarnya tidak jauh dari kaligrafi Arab, yaitu merupakan respon literer-visual terhadap situasi sosial politik yang berkembang di tanah air. Baginya melukis adalah menulis. Misalnya, meminjam peribahasa “ada ubi ada talas, ada budi ada balas:, untuk karyanya yang berjudul “Etika Gonjang-ganjing Antara Penguasa dan Pengusaha", tahun 2011, mixed media di atas kanvas, ia gunakan untuk membaca carut marut partai politik, pajak, KKN, hingga hukum. Karya lain “Siapa Takut” 2011 memetik peribahasa yang boleh jadi tidak populer di masyarakat yaitu “sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tidak percaya”. Karyanya “Siapa Peduli” 2011, memettik peribahasa yang populer, dimengerti/dilanggar, yakni “Nila setitik, rusak susu sebelanga”. Tahun 2005, kaligrafi lainnya berjudul “Mencari Air Suci”, Pirous memetik peribahasa lokal Aceh yang bermuatan ibadah yang berbunyi sebagai berikut “Ie raya ban saboh, blang ie seumayang saboh tima / Air melimpah seluruh sawah, air sembahyang hanya setimba.”

Pirous termasuk seniman dengan strategi artistik yang bebas. Dalam arti, pada saat ia sudah maju, bisa saja mundur kemballi mengulik cara lama, untuk kemudian maju lagi, dan seterusnya. Itu sebabnya saat ia telah beranjak ke kaligrafi latin, balik lagi ke kaligrafi Arab, membuat grafis, lalu mengulik kembali relik tembikar Aceh. Bagi Pirous semua itu digerakkan dari dalam, merespon apa yang sedang berkembang di dalam dan di luar dirinya, untuk menggapai ridho dari Allah dan sebesar manfaat bagi masyarakat. Bukan popularitas dan pasar.

Dalam konteks pasar, ia mengaku pernah mengecewakan kolektor dr. Oei Hong Djien, lantaran ingin membeli karyanya dalam sebuah pameran, namun karyanya itu tidak dijual (koleksi pribadi). Sejak awal ia berkarya memang memilah dan memilih mana karya untuk koleksi pribadi mana yang dijual untuk umum. Dan waktu itu, Pirous merasa dr. Oei marah saat meninggalkan tempat pameran. “Oh jangan salah faham, saya tidak marah. Justru saya hormat dengan sikap Pak Pirous. Seandainya saya jadi seniman juga akan bersikap begitu,” jawabnya sambil tertawa berderai saat dikonfirmasi beberapa waktu lalu.

Sikap Pirous selektif menjual karya, hingga ia bisa mengoleksi karya-karya yang penting, merupakan pusaka yang mesti dijaga keluarga, terutama ketiga putra-putrinya yang kelak akan menjadi ahli waris syah bagi karya-karya tersebut, terutama pada saat karya-karya itu sudah menjadi “yatim piatu”. Sebab selain aset keluarga, karya-karya itu adalah aset senirupa Indonesia, pasca Pirous Ja’u Timu. Semoga.

Sumber Asli: Majalah Visual Arts, Mei-Juni 2012

PAMERAN ARSIP ARTIKEL #1

PAA-01-becoming-logo

ARSIP ARTIKEL

Berguru Pada Nisan Aceh


Artikel lengkap

ARSIP ARTIKEL

Sang Imam Seni Kaligrafi


Artikel lengkap

ARSIP ARTIKEL

Setelah Ja'u Timu


Artikel lengkap

ARSIP ARTIKEL

Islamic Painting Pioneer


Artikel lengkap

ARSIP ARTIKEL

Kisah Karung Goni


Artikel lengkap

ARSIP ARTIKEL

The Equilibrium of Aesthetic and Ethic


Artikel lengkap

Address

Jl. Bukit Pakar Timur II/111
Bandung, 40198
Indonesia.

Hours
Tuesday – Sunday:
10:00AM – 5:00PM

Phone

+62 22 2530966
(office hour only)

Get Connected


Facebook-f


Instagram


Youtube


Envelope

linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram